Sejarah Ponpes Binnur Sulang
SULANG, www.mabinnursulang.sch.id – Cerita sebelumnya, setelah Pak Kiai Wahab menimba ilmu di Kediri lalu kembali ke Sarang dan sempat menjadi bagian dari tentara kemerdekaan yaitu Brigade Hizbullah. Beliau juga sempat bermukim di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan belajar langsung kepada ayahanda Syeikh Muhammad. Simak lanjutannya berikut ini. Sebenarnya saya sudah minta ke penulis untuk mengirimkan foto Pak Kiai Wahab, tapi mungkin karena penulis lagi di Makassar jadi agak kesulitan, kali.
Beliau bermukim di Sulang setelah menikah dengan Ibu Muslikhah (kemudian lebih kita kenal dengan Bu Nyai) yang waktu itu baru berumur 16 tahun. Beliau dikarunia 7 orang anak (2 meninggal), sehingga masih tersisa 5 bersaudara yang saat ini masih ada.
Pindah ke Sulang
Kepindahan beliau ke Sulang adalah amanah dari pamannya yang saat itu menginginkan Simbah dapat mensyiarkan agama Islam secara intens di desa ini. Kepindahan ini mengundang beberapa sindiran dari beberapa ulama Rembang. Ada yang mengatakan beliau “dibuang” oleh pamannya agar tempat beliau di Sarang dapat ditempati dan diteruskan oleh KH. Maemun. Tetapi pada saat itu beliau mengatakan “Aku iki ditandur ora dibuang”. Dari situlah saya sadar pada saat itu simbah sudah memahami benar filosofi hidup. Gelas setengah kosong atau setengah isi, itu tergantung dari orang yang mengatakannya. Pikiran positif dan negatif tergantung cara pandang masing-masing individu. Jadi, beliau telah melaksanakan filosofi tersebut jauh sebelum buku-buku motivasi dicetak sangat banyak saat ini.
Di kalangan NU beliau dikenal sebagai kyai yang keras tetapi fleksibel. Beliau dikenal keras sekeras batu karang dalam memegang teguh prinsip-prinsip agama, tetapi fleksibel tatkala dihadapkan pada persoalan yang menyangkut kemanusiaan. Saya masih ingat beliau termasuk ulama yang memperbolehkan adanya transfusi darah. “Kalau untuk tujuan kebaikan, kenapa tidak?” begitu perkataan beliau saat itu dengan suara yang serak-serak basah.
Bagi saya pribadi sebuah kebahagian menjadi orang yang telah dididik langsung oleh beliau. Meski dengan pendekatan yang keras, beliau sesungguhnya menancapkan kepada keluarganya mengenai arti menghargai/toleransi, memegang janji, fleksibel sekaligus tetap berprinsip pada ajaran agama. Kalo kata orang jawa “keli ning rak ngeli” (kalo ngga salah inget-pen, kalo kata-kata seperti ini Ki Dhalang maestro-nya). Larut tapi tidak hanyut, itu perkataan yang enteng tetapi maknanya sangat dalam.
Menurut saya pribadi, beliau mirip Raja Balion penguasa Ibelin (Raja terakhir yang mempertahankan Yerussalem sebelum akhirnya dikalahkan oleh Shalahuddin dengan negosiasi) yang tidak mau menjual jiwanya. Tidak akan pernah bersedia melakukan kejahatan sekecil apapun meski untuk kebaikan yang besar. Tujuan yang baik harus dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Menurut beliau kebahagiaan sesungguhnya adalah pada kebebasan berfikir dan hati nurani. Itulah yang saya maksudkan beliau begitu teguh dalam memegang prinsip beragamanya.
Di Sulang sendiri beliau telah membangun sebuah image desa Sulang sebagai desa santri di atas berbagai keragaman etnik yang telah ada. PP Zumrotuth Tholibin, Nural Firdaus, dan Madrasah An-Nuraniyah adalah beberapa keberhasilan beliau secara kongkrit yang bisa dilihat pada saat ini. Sebagai bagian dari keluarga besar dari KH. Abdul Wahab (Pak Jup, saya ngga usah dipanggil gus, jadi ngga enak) besar harapan saya agar masyarakat Sulang tetap menjaga dan meneruskan landasan-landasan agama dan bermasyarakat yang Islami. Seberapapun kemajuan yang telah kita raih dan moderenitas yang masuk, semoga masyarakat tetap ingat siapa diri kita dan untuk apa kita diciptakan sebagi kholifah di dunia, khususnya di Desa Sulang. (nyolong kata-katanya Kaisar Meiji).
Penulis: Bahaud Duror (a.k.a Gus Baha)
Gabung dalam percakapan